Dear healthy people, melihat Kakek dan Nenek saya yang gemar merokok, mewariskan kebiasaan tersebut pada anak cucu nya, entahlah kenapa harus merokok yang menjadi kebiasaan hidupnya, kenapa bukan kebiasaan hidup sehat, agar uang jatah rokok ditabung, digunakan untuk membeli makanan bergizi atau dana untuk pendidikan agar masa muda dan tua tidak "sakit-sakitan", sakit fisik maupun sakit mental karena tidak punya uang dan miskin ilmu karena pendidikan yang rendah.
Melihat kenyataan pahit tersebut saya menjadi sangat yakin untuk mencari pasangan hidup yang tidak merokok, sederhana saja, saya memang tidak suka asap rokok mencemari rambut saya hehe. Ternyata saya ditakdirkan menikah dengan Musisi sekaligus Guru Musik. Mendengar kata Musisi atau Seniman, seringkali dikaitkan dengan pertemuan yang dihiasi asap rokok. Dalam iklannya saja, secara halus rokok juga menjadi teman mencari inspirasi berkarya, jiwa Petualang yang pemberani serta sukses di usia muda, sangat bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Alhamdulillah saya sangat bersyukur sekali Suami saya tidak merokok, karena kalau beliau Perokok, saya tidak akan mau dinikahi oleh calon orang sakit.
Saya bertanya pada Suami, kenapa tidak merokok? Beliau menjawab bahwa rokok rasanya tidak enak. Mencari inspirasi berkarya ternyata bukan dengan rokok saja, tapi bisa dengan jalan-jalan menikmati keindahan alam, membaca buku dan melakukan kegiatan sosial, selain sehat jasmani dan rohani, kegiatan tersebut juga bisa membuat hidup lebih bernilai. Suami saya telah membuktikan meskipun beliau tidak merokok, tapi bisa tampil memukau di panggung internasional lewat karyanya dalam musik Jazz, jika Suami saya saja bisa bebas berkarya dengan brilian, harusnya kalian juga bisa berprestasi tanpa rokok.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika punya Suami yang gemar merokok. Awal tahun ini saya dikejutkan dengan wafatnya Guru SD yang sejak dahulu selalu merokok. Beliau adalah sosok jenius dan fenomenal, galaknya luar biasa, kalau belum bisa menyelesaikan soal Matematika, saya tidak bisa pulang. Masih ingat sekali, ketika setiap pembagian Rapot, beliau selalu meminta setiap murid untuk membawa sebungkus rokok untuknya, karena masih kecil dan rokok dianggap wajar oleh Orang tua kami, maka di hari pembagian Rapot, meja Guru penuh dengan gunungan rokok. Saat itu saya juga sudah cemas dengan kesehatan beliau di masa depan, bayangkan setiap hari beliau merokok selama bertahun-tahun. Setelah 15 tahun tidak berjumpa, tiba-tiba saya mendengar kabar duka bahwa beliau meninggal karena komplikasi dan kerusakan syaraf otak.
Setelah berkeluarga dan punya anak, saya jadi ikut memikirkan itu bagaimana ya, keluarga beliau yang ditinggalkan, apakah beliau punya dana Pensiun? Bagaimana dengan Istrinya yang harus membesarkan anak-anaknya? Kasihan dong, anak-anak yang masih kecil harus kehilangan sosok Ayah, lelaki panutan dalam keluarga.
Kemudian saya juga sedih kalau ada Kepala Keluarga yang harusnya gigih mencari nafkah malah jadi pengangguran, tapi rokok jalan terus. Saat Istri mengandung, rokoknya tidak berhenti, uangnya dipakai untuk rokok tapi sangat pelit jika harus mengantar Istri USG di Dokter Kandungan. Lalu apa yang terjadi? Selain Ibu hamil kekurangan gizi, tidak tahu berat badan janin, saat melahirkan tidak punya simpanan uang atau Asuransi, jika harus melahirkan di rumah sakit bagaimana? Jika berat badan bayi kurang bagaimana? Sepertinya tidak terpikirkan oleh mereka yang miskin dan suka merokok.
Saya juga risau nih, jika anak saya digendong sama Perokok atau orang yang baru saja merokok, asapnya kan menempel di baju. Saya masih sedih ketika dulu ada bayi meninggal karena saat acara Aqiqah, para Bapak terlena merokok, sepertinya Perokok itu sangat egois ya, selain merusak kesehatan diri sendiri, juga bisa merenggut nyawa bayi yang tidak berdosa.
Kejadian saat lebaran kemarin juga membuat kaget. Saudara yang masih remaja dan Bapak-bapak begitu merdeka menghisap dan menyebarkan racun saat kumpul keluarga, anak saya terpapar asap rokok menjadi batuk pilek selama dua minggu, hiks saya benar-benar sedih sekali jika harus bersilaturahmi tapi pulang membawa penyakit. Membicarakan rokok memang tidak ada habisnya ya, saya sering merasa bersalah dan tidak enak jika harus membawa anak bertemu dengan para Perokok.
Di tempat umum saja, orang seenaknya merokok padahal di depannya saya membawa bayi dan kemarin saat jalan-jalan ke Hutan Kota Babakan Siliwangi Bandung, masih saja ada yang merokok, memang ada Petugas Keamanan yang menegur, tapi di tempat yang tak terlihat, mereka tetap asyik merokok dan membuang puntungnya sembarangan. Sungguh sangat keterlaluan merokok di Hutan Kota, bahkan diantaranya anak SMP yang bolos sekolah, malah merokok di hutan kota, saya jadi sangat gemas, mau dibawa kemana masa depan bangsa ini jika masih kecil saja sudah malas sekolah dan merokok di Hutan Kota, kebayang nggak sih kalau Hutan Kota yang semakin langka itu harus musnah akibat kebakaran?.
Duh, sepertinya susah banget ya kalau menyuruh orang untuk berhenti merokok, apalagi jika anak dibawah umur dan orang miskin yang sudah kecanduan. Bagaiamana ya solusi agar paling tidak kita bisa berusaha membatasi dan mengendalikan konsumsi rokok di negeri ini? Semesta mendukung, sudah sejak lama saya ingin menulis kekhawatiran tentang bahaya rokok, kemudian tanggal 14 Agustus lalu ada
Talkshow Ruang Publik di Radio KBR Serial Rokok Harus Mahal yang mengangkat tema
“Jauhkan kelompok Rentan dari Rokok”. Serial Rokok Harus Mahal diselenggarakan untuk mengingatkan harga rokok yang murah membuat konsumsi rokok makin tak terkendali, termasuk pada anak-anak dan keluarga miskin.
Narasumber pada Talkshow tersebut adalah Dr. Abdillah Ahsan (Wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI) dan Dr Arum Atmawikarta, MPH, (Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas.) Baiklah akan saya tuliskan kembali resume poin-poin penting, yang disampaikan oleh Narasumber, tentunya ada fakta-fakta mengejutkan yang perlu kalian ketahui:
- Kelompok rentan yang pertama dari aspek kesehatan, yang disebut rentan itu adalah bayi, balita, kemudian ibu hamil, kemudian ibu menyusui dan orang sakit. Tapi dalam kelompok rentan yang paling luas lagi adalah kelompok yang miskin, yang mana jumlahnya pada hasil survei BPS yang baru saja diumumkan itu sekitar 9,7 %, itulah kelompok rentan yang perlu kita lindungi. Dan juga kelompok marginal lain yaitu yang tinggal di daerah-daerah yang memang sulit dan terpencil, itulah daerah yang banyak kelompok rentannya.
- Mengapa kelompok rentan harus dijauhi dari rokok? Berdasarkan data BPS, secara konsisten menunjukan bahwa ternyata pengeluaran dari kelompok penduduk miskin untuk rokok itu besar sekali. Jadi artinya, jika keluarga itu dikategorikan miskin maka dia mengeluarkan uang yang banyak sekali untuk membeli rokoknya. Itu konsisten dari sejak tahun 2004 sampai tahun 2018. keluarga miskin mengeluarkan uang banyak sekali setelah beras. Setelah beras itu urutannya adalah rokok.
- Ibu-ibu atau keluarga membelanjakan lebih banyak rokoknya daripada memberikan makanan bergizi atau pendidikan yang layak untuk anak-anaknya. Setiap harinya rata-rata penduduk miskin mengkonsumsi 11 batang rokok per hari. Salah satu solusinya adalah harga rokok harus mahal dan itu sudah terbukti bahwa di berbagai negara, jika harga dari rokok dinaikan 10% maka, terutama pada penduduk miskin itu akan drop, orang-orang yang merokok itu sekitar 16%, pada kelompok kaya turunnya 7%. Jadi pada kelompok miskin maupun kaya itu dia tetep turun, tapi yang lebih banyak itu kepada kelompok miskin.
- Untuk mendapatkan rokok itu sangat mudah ya, harganya sangat murah. Satu bungkus rokok paling harganya sekitar 15 ribuan, bahkan bisa dibeli per batang, per batangnya bahkan seribu rupiah. Rp 600 - Rp 1000. Dengan uang saku anak SD yang seharinya Rp 10.000, harga per batang seribu rupiah, itu sangat bisa dijangkau dan dibeli oleh anak-anak, orang miskin dan sebagainya. Kita mengharapkan pemerintah menaikan harga rokok melalui peningkatan cukai yang setinggi-tingginya. Kemudian kita juga mengingatkan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi itu tidak boleh diserahkan kepada industri rokok. Kita harus yakin, bahwa mengendalikan konsumsi rokok membuat masyarakat sehat, itu berguna bagi perekonomian.
- Masyarakat yang tidak merokok itu lebih sehat dari pada masyarakat yang merokok. Pekerja yang merokok itu produktivitasnya lebih rendah daripada yang tidak merokok, karena mereka butuh waktu untuk merokok. Itu belum sakit ya, butuh waktu buat merokok, pada saat sakit dia tidak bisa bekerja. Sebenarnya perekonomian Indonesia ini akan jauh lebih tinggi output-nya, pada saat semua masyarakat sehat. Karena dengan masyarakat yang panjang umur dan sehat, bisa lebih produktif.
- Rokok itu ada yang dibuat mesin, ada juga yang dibuat tangan. Saat ini, rokok buatan mesin jauh lebih laku daripada buatan tangan sehingga turunnya pekerja bisa disebabkan karena ada perubahan dari tangan ke mesin. Kalau ada penurunan tenaga kerja di rokok kretek tangan walaupun bukan gara-gara pengendalian rokok tapi karena gara-gara pabriknya memang ingin pindah ke mesin.
- Membeli rokok itu tidak mensubsidi para pekerja rokok. Kita harus ingat bahwa orang terkaya di Indonesia, itu adalah pemilik industri rokok, jadi sangat disayangkan jika anak-anak merokok, orang miskin merokok, uangnya itu mengalir ke orang terkaya di Indonesia.
Kesimpulannya adalah kalau kita ingin membatasi atau mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia, memang ada tiga kebijakan yang harus kita betul-betul diterapkan secara nyata. Pertama mencegah, mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok. Yang kedua adalah memperkecil akses atau tempat-tempat dimana rokok itu bisa dibeli dengan mudah. Yang ketiga adalah membantu, yang sulit ini, membantu orang yang sudah kecanduan rokok dengan pengobatan atau rehabilitasi.
Sebagai langkah awal, saya setuju harga rokok harus mahal kalau bisa Rp 150.000 seperti di Singapura agar masyarakat miskin dan generasi muda terlindungi, lalu gimana nih Sobat? Masih mau merokok? Masih mau menyakiti orang yang kita sayangi? Lebih baik tabung uang rokoknya untuk hidup yang lebih sehat agar di masa depan, kita masih bisa melihat kebahagiaan dan kesuksesan anak dan cucu kita nanti. Maka dari itu yuk ikuti kampanye pengendalian tembakau ini dengan menyerukan:
#Rokokharusmahal
#Rokok 70ribu
#Rokokmemiskinkan
Mari bantu keluarga miskin dan anak-anak berhenti beli rokok, tanda tangani petisinya di
Change.org. Jika kalian merasa artikel ini bermanfaat, tolong bantu sebarkan ya, supaya lebih banyak orang yang sadar ternyata hidup lebih indah tanpa asap rokok.